Kamis, 07 Februari 2013

Obsesi Buat Rumah Puding


Ditemui di rumahnya di kawasan Simo Tambaan Sekolahan, Surabaya, Diana dan Yuliana tengah sibuk mempersiapkan beberapa kue puding pesanan konsumen. Usaha yang ditekuninya sejak awal 2010 itu kini telah menjadi kesibukan rutin sehari-hari.

Meski proses pembuatan puding fantasi ini cukup rumit dan lama, rata-rata kisaran 3 jam, toh kakak beradik ini tetap enjoy melakukannya.

“Kami bisa kompak begini karena memang tinggal satu rumah bersama suami dan mertua. Daripada nganggur kita awalnya mencoba usaha ini. Namun ternyata banyak diminati konsumen,” jelas Diana, Kamis (11/8).

Diana dan Yuliana dipertemukan karena keduanya sama-sama tinggal di rumah mertua, yang juga orang tua suami mereka berdua. Diana sendiri sebelumnya aktif sebagai tenaga marketing (SPG) freelance. Namun setelah nikah, ia sudah tidak diperbolehkan lagi bekerja oleh suaminya.

Hobi yang sama yakni suka masak dan membuat kue, mengilhami keduanya menekuni usaha ini. Tetapi, pengetahuan dalam membuat puding itu, diakui mereka, dilakoni secara otodidak.

“Awal kami membuat kue puding saat Imlek tahun lalu, namun berbeda dari yang pernah ada. Kami buat puding fantasi dan puding buah dengan rum fla,” papar wanita 26 tahun ini.

Tak disangka, kreasi coba-coba itu banyak disukai keluarga dan teman-teman. Mereka pun memesan untuk dibuatkan kue puding. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. “Kami memang menjaga cita rasa, karena bahan yang kami buat berkualitas, seperti warna menggunakan pewarna makanan, tanpa bahan pengawet dan komposisinya buah dan susu, bukan roti. Ini yang membuat konsumen suka,” ulas Yuliana.

Karena banyak permintaan, akhirnya keduanya memutuskan menekuni usaha itu. Terlebih prasarana dan sarana sudah tersedia, sehingga mereka tidak perlu menyiapkan modal besar untuk memulai berbisnis. Mereka bersyukur niatnya mendapat dukungan suami masing-masing, bahkan sang mertua. Agar lebih dikenal, Diana dan Yuliana menggabungkan nama keduanya sebagai merek, yakni ‘Nana Pudding’.

“Ada saja permintaan untuk menciptakan model baru, atau kadang mereka membawa gambar sendiri dan minta dibuatkan gambar itu di permukaan puding. Karena tak ingin kehilangan pelanggan kami pun tetap melayaninya. Yang membedakan, buatan kami murni hand made. Jadi, gambar atau bentuk apapun dibuat tangan,” ulas ibu dua anak ini, yang telah menyiapkan gambar ketupat sebagai persiapan jelang Lebaran.

Kawasan Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, diakuinya, masih menjadi pasar terbesar bagi produknya. Meski tak jarang ia banyak mendapat permintaan dari Jakarta hingga Balikpapan yang tahu dari website yang ia buat, yakni www.nana-pudding.blogspot.com. Hanya saja karena terkendala jasa pengiriman, Yuliana belum mampu memenuhinya.

“Perusahaan jasa pengiriman tak berani menjamin produk kami utuh semuanya sampai di tempat. Kalau pun ada, konsumen membawa sendiri untuk oleh-oleh ke luar kota,” ujar Yuliana.

Dengan harga mulai Rp 25.000-50.000 per buah untuk ukuran kecil, dan kisaran Rp 150.000-165.000 per buah ukuran besar, rata-rata ia menerima order sekitar 30-50 buah puding setiap bulannya. Masa peak season, selain ulang tahun, Natal, Imlek, Lebaran, hingga acara sebulanan bayi.

“Meski ramai, sampai kini kami belum berpikiran merekrut karyawan. Ini untuk menjaga kualitas produk,” ungkapnya.

Ke depan, baik Diana maupun Yuliana berobsesi mendirikan semacam rumah puding sebagai tempat produksi sekaligus outlet. “Dengan keberadaan rumah pudding ini, konsumen bisa langsung datang dan membeli produknya,” tutur Diana. 

Sumber : yptrading.co.id

Pelayan Kopi Sukses Jadi Pengusaha


Ramah, murah senyum, dan santun. Itulah sosok yang tergambar dari diri Salimin Djohan ketika pertama kali bertemu. Pria kelahiran Medan, 48 tahun silam ini dikenal pandai bergaul. 

Karena kepandaiannya bergaul itu pula ia berhasil membesarkan bisnis kopi yang ia geluti sekarang. Ya, si hitam telah mengantarkan pria berkulit putih ini menjadi salah satu pengusaha sukses di Kota Medan. Tapi siapa sangka, bisnis kopinya itu dirintis dari sebuah warung kecil di sudut Kota Medan. Djohan, sapaan akrabnya, sudah tertarik dengan bisnis kopi sejak remaja. Namun di masa itu, ia sama sekali tidak memiliki modal untuk memulai bisnis ini. 

Jangankan membuka bisnis, untuk makan sehari-hari saja waktu itu sering keteteran. Akan tetapi ia terus mengasah diri untuk menggapai mimpinya kelak menjadi seorang pebisnis kopi. “Saya pun mulai bekerja menjadi karyawan di sebuah warung kopi (warkop) di Medan. Awalnya yang sangat pahit dan melelahkan. Karena yang namanya kerja di warkop bisa dibayangkan punya gaji atau tidak. Namun, itu tidak saya hiraukan demi mencapai impian,” kata Djohan. 

Banyak pelajaran yang ia dapatkan ketika menjadi pekerja di warkop tersebut. Mulai dari bagai - mana cara meracik kopi hingga membuat pe lang - gan nya ter tarik. ”Bekerja di warkop membuat saya memiliki banyak pengetahuan tentang kopi dan meraciknya menjadi minuman yang menyenangkan,” katanya. Ia pun terus menjalani kehidupannya sebagai pekerja di warkop itu, hingga akhirnya berpikir untuk memulai bisnis kopi sendiri.

”Dan saya mulai membuka warkop sendiri sekitar 8 tahun lalu,” ujarnya. Karena keuletan dan semangatnya untuk menggapai impiannya tersebut, sekarang Djohan pun sudah menjadi pengusaha kopi yang sukses di Kota Medan. Djohan kini memiliki pabrik kopi dan beberapa usaha kopi ternama di Kota Medan, seperti Kopi Tiam Ong, Republik Kopi, Kopi Ong, Djohan Water Filter. “Kuncinya, jangan pernah mengeluh dalam melakukan sesuatu. 

Mulailah dengan sabar dan tekun. Saya memulainya ini dari nol dari karyawan kecil,” kisahnya. Berkat usaha-usahanya itu telah mengantarkan Djohan menjadi salah satu jutawan di Kota Medan. Karena bisnis kopinya itu pula sekarang Djohan bisa menjalani studi S3 di Malaysia. Yang membuat kopi Djohan laris manis adalah kepandaiannya membuat citra rasa kopi terbaik dengan memadukan biji kopi yang terkenal dari Sumatera, mulai dari Gayo hingga Sidikalang. 

Semua itu dilakukannya untuk menciptakan bisnis yang lebih kreatif dan inovatif. “Sekarang saya sudah bisa jalan-jalan kemana saja yang saya sukai, dan bisnis tetap jalan,” tandasnya mengibaratkan buah manis dari kerja kerasnya selama ini. Ia mengaku bisa menjadi seperti sekarang karena awalnya bermimpi. 

Karena bermimpi tersebut membuatnya harus bekerja keras untuk mencapainya. Hasilnya ia menjadi pebisnis kopi yang sukses. “Untuk mencapai kesuksesan harus bermimpi dahulu. Mimpi (harapan) merupakan awal dari kehidupan sukses. Tanpa mimpi, seseorang seperti kapal tanpa tujuan. Impianimpian itulah yang memotivasi saya untuk mewujudkan hingga bisa sukses seperti sekarang,” tandasnya.

Sumber : seputar-indonesia.com

Juragan Jeans


Jika mau menulis tentang kisah hidup saya, bisa-bisa lebih dari 20 buku,” kata Ase Sopian di pemilik Vially Jeans, di rumahnya di Babakan, Ciparay, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.

Pria 54 tahun yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Ase ini memiliki pengalaman luar biasa untuk membesarkan usahanya.

Baginya, peranan perbankan, terutama Bank Mandiri, memberikan pinjaman turut membantu perkembangan usahanya hingga berhasil seperti sekarang. Kredit dari Bank Mandiri digunakan Ase untuk membeli peralatan operasional seperti mobil, mesin, dan peralatan operasional lain.

Ase menceritakan, perkembangan usahanya dilalui dengan banyak cobaan. Dia pernah berjualan sayur dan berdagang minyak keliling. Berdagang sayur dan minyak keliling, menurut ukurannya, tidak bisa mendongkrak kesejahteraan keluarga.

Dengan tekad membantu sesama dan memperbaiki kehidupan, Ase memutuskan untuk berbisnis. ”Saya ingin beribadah, membantu orang lain dengan apa yang saya punya,” ucap Ase.

Sekira pertengahan 1980-an Ase, yang ketika itu masih berdagang minyak, bertekad untuk mengubah nasib. Lulusan sekolah teknik menengah (STM) di Bandung ini mencari usaha yang cocok baginya.

Sampai suatu ketika Ase menyaksikan tetangganya yang menjalankan bisnis konveksi bisa membagikan uang dan sebagian harta kepada tetangga-tetangga yang lain. “Beliau yang menginspirasi saya,” ungkapnya.

Lalu Ase berkonsultasi dengan beberapa anggota keluarga. Akhirnya dia memutuskan untuk berbisnis konveksi seperti tetangganya. Salah seorang keluarga meminjamkan uang untuk roda usaha yang akan dijalankan Ase. “Saya ingat modalnya Rp60 juta. Dulu uang senilai itu besar sekali untuk menjalankan usaha,” ujar Ase.

Pada 1985 Ase mencoba peruntungannya. Dengan dua karyawan dan dua mesin Ase mulai memproduksi celana jeans. Tidak langsung besar, namun Ase rajin memasarkan, membina karyawannya, dan menjalin koneksi dengan beberapa pedagang.

Berkat kegigihannya, pada medio 1990-an produk Ase mampu menguasai Kota Bandung dan sekitarnya. Mesin produksi terus ditambah sampai Abah Ase memiliki 15 mesin yang menjadi asetnya kini.

Mesin-mesin itu terdiri atas mesin jahit, obras, trash, dan mesin-mesin lain yang mendukung proses pembuatan celana jeans.

Saat ini celana jeans produksi Ase yang diberi label Vially Jeans sudah masuk ke sebagian wilayah Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Suami Neneng Salamah ini mempekerjakan warga sekitar rumahnya yang berlokasi di Jalan Terusan Suryani, Gang Abadi, Babakan Ciparay, Kota Bandung.

Selain tetangganya, Ase juga mengajak kerabatnya di kampung halaman di Garut untuk membantunya membuat celana dan jaket berbahan denim. “Karyawan saya borongan, jika sedang ramai order ya bisa lebih dari 15 orang. Jika tidak ya paling 10 orang,” paparnya.

Meski demikian, perjalanan bisnis Ase tak luput dari cobaan. Ayah tiga orang putri dan dua orang putra ini mengaku bisnisnya sempat jatuh dan nyaris membuatnya putus asa.

Pada pertengahan 1990-an, dia tertipu koleganya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya Ase mampu melewati itu. “Saya bisa bangkit,” kata pria kelahiran Garut, 17 April 1956 ini.

“Jika terus larut dalam kesedihan dan keputusasaan, kapan kita bangkit,” ujarnya. Kejatuhan itu akibat dia terlalu bersemangat menyambut usahanya yang semakin maju.

Kala itu Ase kurang mengontrol ego sebagai pengusaha yang besaran penghasilannya tidak disangka-sangka. Bahkan oleh dia sendiri. Namun pengalaman pahit itu sudah berlalu. Kini dia telah merengkuh sukses.

Dari bisnisnya, Ase bisa beribadah haji ke Tanah Suci, memiliki empat unit rumah yang tersebar di Kota Bandung, sebuah vila di Garut, dan beberapa buah mobil.

“Saya juga menyekolahkan anak-anak saya dari bisnis saya ini. Mereka semua lulus kuliah. Bahkan salah seorang anak perempuan saya berhasil lulus S-2 dan sekarang menjadi dosen di Jambi,” tutur Ase.

Dia menjual satu potong celana jeans Vially seharga Rp65 ribu. Dalam satu hari rata-rata Ase bisa mengantongi Rp6.500.000 dari hasil penjualan 100 potong.

Menurut Ase, dalam memasarkan dan menjual produk dia kerap menemui kendala. Misalnya, ada kompetitor yang bersaing tidak sehat. Kemudian yang paling parah adalah pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai tahun ini.

Pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas itu berakibat membanjirnya produk jeans asal Negeri Tirai Bambu yang berharga murah. “Omzet saya bisa turun hingga 25 persen,” ucapnya.

Dampak ACFTA, sambung Ase, baru terasa pada April tahun ini. Padahal, kualitas produk jeans asal Indonesia pada umumnya jauh lebih baik daripada buatan China. Sayangnya, menurut Ase, konsumen di Indonesia masih berorientasi pada harga, bukan kualitas.

“Harga mereka (produk China) bisa lebih murah hingga Rp10 ribu. Secara kasat mata memang perbedaan produk mereka dengan kita tidak terlihat, tapi jika ditilik bisa kentara. Buat kami ACFTA berdampak negatif, meski saya pribadi bertekad jangan sampai kalah,” paparnya.

Ase sebenarnya memiliki niat yang besar untuk memasarkan produknya ke luar negeri. Akan tetapi dia mengaku tidak tahu prosedur dan belum memiliki koneksi untuk memasarkannya.

“Sangat ingin ekspor, tapi tidak tahu jalan. Saya ingin sekali memasarkan produk saya di China. Siapa tahu bisa menandingi produk tuan rumah,” harapnya.

Saat ini Ase memiliki toko di Plaza Parahyangan, Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung. Toko itulah yang mendistribusi barang milik Ase ke seluruh Indonesia. Total ada 40 pelanggan tetap Ase dari luar kota.

Dia berencana membuka toko baru di daerah Mochammad Toha, Kota Bandung. “Saya sudah membeli tokonya, tinggal mengisi barang di sana,” ucapnya.

Ase mengatakan, sebagai pelaku usaha kecil dia mendapat perlakuan yang baik dari Bank Mandiri. Pengajuan dan pencairan modal usaha dari Bank Mandiri tidak terlalu lama.

Dia mendapatkan modal dari bank dengan aset terbesar di Indonesia tersebut pada akhir 2008. Namun dia enggan menyebut jumlahnya. “Ada, lumayan,” sebutnya.

Bank Mandiri, katanya, sangat membantu UMKM melalui kucuran kredit. Dia berharap, pemerintah terus membangun link antara perbankan dan UMKM.

“Terbukti UMKM salah satu elemen pendukung peningkatan ekonomi masyarakat yang tahan banting. Saya pikir Bank Mandiri sangat membantu dalam mengembangkan UMKM di Indonesia,” tuturnya.

Dalam mengelola bisnis, kakek seorang cucu ini memiliki prinsip tersendiri. Dia tidak pernah takut dengan kesusahan. Justeru kesusahanlah yang bisa membulatkannya untuk berinovasi, berkarya, dan menghasilkan sesuatu yang belum pernah dia capai.

“Jangan pernah kapok, jangan pernah putus asa. Karena dengan kita diuji oleh kesusahan, di sanalah momentum kita untuk berpikir,” papar Ase.

Berkat inovasinya pula kini Ase mengembangkan usahanya ke usaha bordir. Dari sini dia mendapatkan tambahan penghasilan. Menjadi pengusaha, kata Asep, tidak sulit.

“Asal ada kemauan dan mental yang kuat. Tidak cengeng dan berani mengambil risiko. Saya jamin, manusia bermental kuat dan memiliki kemauan, apa yang dikerjakannya akan meraih sukses,” ungkapnya.

Ase mengajarkan anak-anaknya agar bisa berdiri sendiri, tidak menggantungkan nasib pada orang lain. Hanya satu putrinya yang mengabdi menjadi dosen, sisanya bercita-cita menjadi pengusaha.

“Menjadi pengusaha lebih asyik daripada menjadi pegawai. Saya sendiri seumur hidup saya tidak pernah menjadi anak buah orang lain,” kenangnya.

Meski tidak merasa sebagai pengusaha sukses, kini Ase sudah bisa mewujudkan cita-citanya sejak dulu. Bisa mendongkrak kesejahteraan serta dapat mempekerjakan kerabat dan tetangganya. “Dan yang terpenting saya bisa berbagi dengan orang lain,” kata Ase.

Sumber : economy.okezone.com

Bisnis Ayam Kampung


Bisnis ayam kampung bisa membawa rezeki berlimpah di ibu kota. Itulah yang dilakukan Bambang Krista, pemilik Citra Lestari Farm di Bekasi, Jawa Barat. Peternakan ayam kampung milik Bambang mampu memasok 5.000 ekor dan 10.000 butir telur ayam kampung per pekan.

Banyak yang berbisnis ayam kampung di negeri ini. Tapi siapa sangka, bisnis ayam kampung bisa menjadi bisnis primadona di perkotaan. Bambang Krista lewat Citra Lestari Farm di Bekasi, Jawa Barat, membuktikan, bisnis ayam kampungnya membuat dia terkenal sebagai pemasok ayam kampung dan telur di Jakarta.

Bambang sukses membangun rantai bisnis ayam kampung itu di Jabodetabek. Bambang tidak hanya menjual ayam kampung siap potong saja, dia juga menjual telur ayam kampung dan bibit ayam kampung atau daily old chicken (DOC).

Dari peternakan ayam kampung miliknya seluas enam hektare (Ha) di Bekasi, Bambang bisa menghasilkan 3.000 sampai 5.000 ekor ayam kampung siap potong per pekan. Selain itu dia juga menyuplai 10.000 butir telur ayam kampung per pekan untuk memenuhi kebutuhan di pasar-pasar di kawasan Jabodetabek saja.

Belum cukup hanya itu, Bambang juga menjual DOC ayam kampung sebanyak 7.000 sampai 10.000 ekor per pekan. “Omzet saya bisa lebih dari Rp 200 juta,” kata Bambang.

Ayam kampung dan telur ayam kampung dari peternakan Bambang tidak hanya masuk pasar tradisional. Bambang juga memasok ayam kampung itu ke pasar modern. Sementara permintaan DOC ayam kampung berdatangan dari peternak ayam kampung di seputaran Jabodetabek dan beberapa peternak di Jawa Barat.

Kesuksesan pria asli Solo ini membangun bisnis ayam kampung tidak datang begitu saja. Bambang bekerja keras agar bisa mengangkat pamor bisnis peternakan ayam kampung tersebut.

Salah satu kiatnya adalah, Bambang menyiapkan dengan baik sebelum terjun di bisnis ini. Lihat saja, sebelum membuka peternakan, Bambang lebih dulu melakukan riset untuk mencari bibit ayam kampung yang unggul. Dia meneliti dengan baik, mulai dari mencari induk unggul hingga telur yang layak ditetaskan.

Karena tekun, Bambang sukses menemukan DOC ayam kampung unggul yang diberi nama DOC ayam kampung super. Keunggulan DOC ayam kampung super itu terletak pada usia panen yang lebih cepat dibanding DOC ayam kampung biasa. “Saya butuh enam kali perkawinan silang untuk menemukan DOC ayam kampung super,” ujar Sarjana Peternakan dari Universitas Diponegoro itu.

Menurut Bambang, membesarkan DOC ayam kampung biasa butuh waktu empat sampai enam bulan. “Berbeda dengan DOC ayam kampung super yang bisa panen setelah usia dua bulan,” terangnya.

Setelah mengetahui kelebihan dari DOC ayam kampung super itu, barulah Bambang memberanikan diri membuka peternakan ayam. Dan tentu saja, Bambang juga melakukan pembibitan DOC ayam kampung super untuk dijual kepada para peternak.

Karena produktif, DOC ayam kampung super itu digemari peternak ayam kampung. Alhasil, nama Bambang Krista menjadi populer di mata peternak. Banyak peternak ayam kampung beralih membeli DOC milik Bambang karena lebih menguntungkan dari sisi produksi.

Apalagi harga jual ayam kampung lebih tinggi dibanding dengan ayam buras. Sebagai perbandingan, harga ayam buras di pasaran Rp 16.000 per kilogram (kg). Sementara, harga jual ayam kampung mencapai Rp 25.000 per kg.

Tapi, kesuksesan Bambang berbisnis tidak membuat dia lupa lingkungan sekitarnya. Bambang kini memiliki 20 peternak binaan di Jonggol, Bogor. “Tadinya warga itu menggantungkan hidup di sektor perdagangan saja,” terang Bambang.

Peternak binaan Bambang itu mendapat pasokan DOC dari Bambang. Setelah dibesarkan peternak, Bambang membantu mereka untuk memasarkannya. Saat ini, para peternak di Jonggol itu bisa menghasilkan 5.000 ekor ayam kampung setiap panen (dua bulan).

Selain memiliki binaan, Bambang juga sering bertandang ke berbagai kota untuk memberikan pelatihan beternak ayam kampung kepada sesama peternak. “Motivasi saya adalah ingin berbagi ilmu,” katanya.

Setelah gagal menjadi peternak ayam broiler, Bambang mulai melirik ayam kampung. Namun ia memilih tak menjual ayam namun menjual telur ayam kampung. Dengan kemasan yang baik, Bambang berhasil menjual telur 50% lebih tinggi dari telur lainnya. Setelah berdagang telur sukses, Bambang mulai melirik usaha breeding farm.

Bambang Krista adalah contoh peternak sekaligus pebisnis yang sukses menggabungkan teori dan praktik. Maklum, pria berusia 48 tahun ini merupakan alumni Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Bahkan ketika masih kuliah ia kerap dipercaya sebagai asisten dosen untuk beberapa mata kuliah.

Namun, ketika kuliah dulu, Bambang tak pernah bercita-cita menjadi peternak ayam. Bahkan, saat kuliah dia malah tak mengambil mata kuliah tentang unggas. “Saya dulu bercita-cita ingin punya peternakan sapi, seperti di Eropa,” ujar Bambang

Walaupun awalnya tidak menyukai ayam, selepas kuliah pada 1989 ia terpaksa mulai merintis karier sebagai tenaga ahli di sebuah peternakan ayam broiler di Kramat Jati, Jakarta Timur. Dari situlah Bambang mulai tertarik dengan ayam. Dia melihat perputaran uang dalam bisnis ayam ternyata luar biasa besar.

Bayangkan, dalam waktu 25 hari hingga 40 sejak ayam berumur sehari atau day old chicken (DOC) ayam sudah bisa dipanen dan untung bisa diraih. Selain itu, ibaratnya, pembeli langsung datang ke kandang ayam alias tak perlu memasarkan.

Nahas, peternakan ayam broiler itu terpaksa tutup kandang alias bangkrut saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1998 silam. Ketika itu, banyak peternak ayam di negeri ini gulung tikar lantaran tak mampu membeli pakan yang harganya melenting tinggi sekali. Sementara itu, “Harga ayam malah melorot menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang turun akibat krisis,” terang Bambang.

Setelah peternakan ayam broiler itu gulung tikar dan Bambang kehilangan pekerjaan, ia langsung banting setir menjadi pedagang sembako untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun jadi pedagang tak lama karena pada 1999, Bambang mendapat tawaran dari seorang temannya untuk bekerja di usaha pembibitan ternak atau breeding farm.

Meski sudah kembali bekerja, Bambang belum lupa dengan rezeki dari ayam broiler. Karena itu, dia masih beternak ayam ini. Bahkan, jumlah ayam broilernya itu pernah mencapai 100.000 ekor.

Sayangnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lagi-lagi terpaan krisis menghantam peternak. Pada 2003, krisis melanda Asia, peternakan Bambang pun kembali runtuh. Dia rugi besar. Sampai-sampai hartanya ludes untuk menutupi kerugian.

Setelah gagal yang kedua ini, Bambang sadar, beternak ayam broiler berisiko tinggi. Ia mulai berpikir untuk beternak ayam kampung. Masalahnya, ketika itu pamor ayam kampung kalah dengan ayam bukan ras (buras) ini.

Namun Bambang tetap nekat. Menurutnya, bagaimanapun ayam kampung lebih tahan penyakit dan biaya perawatannya murah karena tak perlu dengan sistem intensif seperti beternak ayam broiler.

Menginjak 2008, Bambang mulai mantap dengan pilihannya beternak ayam kampung untuk diambil telurnya. “Awalnya sulit untuk mempromosikan telur ayam kampung tersebut,” ujar Bambang.

Agar telur laku, Bambang pun membuat kemasan serapi mungkin. Kemasan ini penting agar telur-telur itu bisa dijual di supermarket. Cara ini ternyata jitu, tak sampai setahun, telur ayam kampung kemasan Bambang mulai laris manis karena ia berhasil untuk menjaga kualitas telurnya. Selain itu, keuntungan Bambang juga 50% lebih besar dibanding penjual telur lainnya. “Dengan pengemasan yang lebih baik, saya bisa untung lebih banyak,” ujar Bambang

Sukses di telur, Bambang mulai mengembangkan usaha dengan menjadi pembibit ayam kampung. Memang risiko di bisnis pembibitan lebih besar dibandingkan dengan menjadi peternak. Namun, Bambang juga tahu persis tak banyak pebisnis yang bermain di pembibitan ayam kampung. “Karena itu saya yakin bibit saya pasti laku,” ujarnya.

Dengan menjadi penyuplai bibit, ia tidak perlu bersaing ketat dengan peternak lainnya, namun justru membantu usaha mereka. “Bidang breeding farm masih sangat dibutuhkan peternak,” ujar Bambang.

Setelah mampu membuktikan sebagai peternak ayam kampung yang sukses, Bambang pun sering diundang untuk memberikan pelatihan peternakan ayam kampung yang benar. Selain itu, karena banyaknya permintaan, di sela-sela waktu senggangnya Bambang juga tetap rajin menulis buku tentang peternakan ayam kampung.

Prospek bisnis ayam kampung kini mulai cerah setelah Bambang Krista memasyarakatkan cara beternak ayam kampung secara intensif. Usaha peternakan ayam kampung yang sebelumnya dilakukan secara tradisional mulai berubah ke cara beternak yang lebih modern seperti laiknya memelihara ayam bukan ras atau ayam ras.

Cara beternak ayam kampung modern itu memang membawa dampak besar. Lihat saja, kalau sebelumnya nilai ekonomis ayam kampung baru diperoleh setelah ayam berusia tiga bulan atau lebih, kini peternak hanya butuh waktu 45-60 hari untuk bisa panen.

Namun demikian, menurut Bambang, peternakan ayam kampung dalam skala besar masih bisa dihitung dengan jari. Saat ini, peternakan ayam kampung masih dikelola dalam skala menengah dan kecil. “Banyak yang beranggapan bisnis ayam kampung ini bisnis recehan,” ujar Bambang.

Padahal, melihat hasil yang diraih Bambang saat ini, sejatinya bisnis ayam kampung ini bisa lebih stabil dan punya masa depan yang cerah. Selain itu, beternak ayam kampung juga jauh lebih menguntungkan karena ayam ini lebih tahan penyakit dibandingkan dengan ayam broiler. Padahal, harga jual ayam kampung juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ayam buras itu. Apalagi saat ini lamanya masa panen beternak ayam kampung sudah bisa diatasi.

Ayam kampung hasil penelitian Bambang ini memang terbilang super. Lihat saja, ayam kampung yang diternak Bambang itu punya daging selezat ayam kampung namun masa panen sesingkat ayam broiler. “Perkembangan yang cepat tentu lebih menghemat biaya produksi dan memperkecil risiko kematian,” terang Bambang.

Contoh sukses Bambang itu tentu juga membuat masyarakat semakin tertarik untuk ikut beternak ayam kampung. Bambang yang suka berbagi ilmu ini pun tak pelit menularkan cara beternak ayam kampung yang efisien. Itulah sebabnya, Bambang rutin mengadakan pelatihan beternak ayam kampung di Cibubur dan Bekasi.

Tidak hanya itu ia juga kerap diundang sebagai pembicara mengenai ayam kampung ke berbagai daerah di Indonesia. Jam terbangnya yang tinggi membuat semua masalah berat peternak menjadi ringan. “Pelatihan tersebut sekaligus untuk memperkuat jaringan usaha,” ujar Bambang.

Jaringan usaha itu memang penting bagi pertumbuhan bisnis. Salah satu manfaat jaringan bisnis ini, di antara peternak bisa saling berkomunikasi untuk menjaga harga produk agar tidak jatuh.

Bagi Bambang, bisnis seperti ini harus dijaga agar tetap saling menguntungkan. Itulah sebabnya, “Saya juga sering memberikan bantuan pelayanan secara gratis di berbagai daerah,” imbuh Bambang.

Dalam membantu para peternak baru, ia biasanya akan mewanti-wanti mengenai kondisi kandang. Menurut Bambang, kesiapan kandang sangat penting untuk meminimalisasi risiko kematian bibit ayam akibat virus. Kandang yang siap menampung bibit bisa dilihat dari sirkulasi udara dan lingkungan sekitar kandang yang steril.

Situasi kandang sebaiknya berada di wilayah yang tenang dan tidak dimasuki oleh sembarangan orang. “Karakter ayam itu sensitif dan gampang stres kalau ada perubahan di sekitarnya,” ujar Bambang.

Bambang sendiri yang punya jam terbang panjang di bidang peternakan ayam juga masih tetap hati-hati. Ia mengaku pernah merugi lantaran bibit yang dijualnya kepada seorang mitra mati mendadak. Setelah diteliti, ternyata itu akibat virus yang berbiak di kandang yang tidak steril. “Karena itu saya akan memastikan para klien saya siap sebelum pengiriman bibit,” jelas Bambang.

Kini, di sela-sela waktu luangnya, Bambang masih rajin menulis buku tentang beternak ayam kampung ini. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tiga buku yang laris manis diserbu pembeli. Buku-buku itu mengenai tata cara beternak ayam kampung untuk peternak dari kalangan awam hingga untuk keperluan studi. “Buku tersebut saya tulis karena permintaan masyarakat yang tinggi,” ujar Bambang.

Sumber : wirasmada.wordpress.com

Louis Braille


Louis Braille dilahirkan pada 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota kecil di dekat Paris, Prancis. Ia tinggal bersama ayahnya, Simon Rene Braille dan ibunya, Monique, di sebuah rumah sederhana. Ayahnya seorang pembuat sepatu dan perlengkapan berbahan kulit yang bekerja di bengkel miliknya sendiri. Louis kecil senang sekali bermain di bengkel ayahnya. Pada usia 4 tahun, ketika asyik memainkan alat-alat kerja ayahnya, ia mengalami kecelakaan. Jara, alat tajam untuk melubangi kulit, secara tak sengaja melukai sebelah matanya.

Infeksi di sebelah matanya yang terluka segera menjalar ke sebelah mata lainnya dan mengakibatkan kebutaan total pada kedua matanya.

Meskipun tidak bisa melihat, Louis kecil berhasil menunjukkan kemauan yang kuat untuk belajar. Orang tua Louis bersama guru sekolah setempat melihat potensi yang besar pada dirinya. Oleh karena itu, ketika memasuki usia sekolah, ia diizinkan mengikuti pelajaran di kelas – bersama teman-temannya yang berpenglihatan normal – dengan mengandalkan indra pendengaran. Ternyata, ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Satu-satunya kendala, ia tidak dapat membaca dan menulis pelajaran kecuali sebatas mendengarkan apa yang disampaikan gurunya secara lisan.

Pada usia 10 tahun, ia memperoleh beasiswa untuk belajar pada Royal Institution for Blind Youth di Paris, sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak tunanetra. Di sana, ia belajar membaca huruf-huruf yang dicetak timbul pada kertas dengan cara merabanya. Pada sekolah ini juga terdapat beberapa buku dengan sistem cetak timbul yang disediakan oleh pendiri sekolah, Valentin Hauy. Buku-buku ini memuat huruf-huruf berukuran besar yang dicetak timbul pada setiap halamannya. Karena ukuran huruf-hurufnya yang besar, ukuran bukunya pun terbilang besar sehingga harganya sangat mahal. Sekolahnya hanya memiliki 14 buku seperti ini.

Louis muda dengan penuh kesabaran berhasil ”melahap” semua buku itu di perpustakaan sekolahnya. Louis Braille dapat merasakan setiap huruf yang dicetak timbul pada buku-buku itu, tetapi cukup menyita waktu untuk dapat membaca dan memahami setiap kalimatnya. Dibutuhkan waktu beberapa detik untuk mengidentifikasi satu kata dan ketika telah sampai pada akhir kalimat, ia sering lupa tentang apa yang telah dibacanya pada awal kalimat. Louis yakin pasti ada cara yang lebih mudah sehingga kaum tunanetra dapat membaca secepat dan semudah orang yang dapat melihat.

Suatu hari pada 1821, seorang kapten angkatan bersenjata Prancis, Charles Barbier, berkunjung ke sekolah Louis. Barbier mempresentasikan penemuannya yang dinamakan night writing (tulisan malam), sebuah kode yang memungkinkan pasukannya berbagi informasi rahasia di medan perang tanpa perlu berbicara atau menyalakan cahaya senter untuk membacanya. Kode ini terdiri atas 12 titik timbul yang dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat dirasakan oleh ujung-ujung jari.

Sayangnya, kode ini terlalu rumit bagi sebagian besar pasukannya sehingga ditolak untuk digunakan secara resmi di kesatuannya, tetapi tidak bagi pelajar tunanetra berusia 12 tahun, Louis Braille. Louis muda

segera menyadari betapa sistem titik timbul ini akan sangat berguna jika ia berhasil menyederhanakannya. Setelah kunjungan Barbier, ia serius bereksperimen dengan menghasilkan sistem-sistem titik timbul yang berbeda. Dalam tiga tahun, pada usia 15 tahun, akhirnya ia berhasil membangun satu sistem ideal yang sekarang dinamakan huruf braille, menggunakan satu sel 6 titik dan didasarkan ejaan normal.

Setiap karakter atau sel braille tediri atas enam posisi titik yang disusun dalam dua kolom yang masing-masing mengandung tiga posisi titik sehingga membentuk persegi panjang. Satu titik atau lebih mungkin ditimbulkan pada salah satu atau beberapa dari keenam posisi titik itu untuk mewakili huruf alfabet, tanda baca, atau bilangan tertentu. Louis Braille menemukan 63 kombinasi susunan titik timbul yang mungkin. Apakah ia berhenti sampai di sini?

Tidak. Ia bahkan terus mengembangkan sistem ini pada tahun-tahun berikutnya dan berhasil menambahkan simbol-simbol untuk matematika dan musik. Pada 1829, Louis Braille menerbitkan Method of Writing Words, Music and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged by Them, buku braille pertama yang pernah terbit di dunia. Kaum tunanetra membaca tulisan braille dengan menggerakkan ujung-ujung jari mereka di atas titik-titik yang timbul itu. Mereka dapat menulis huruf braille pada suatu kertas di atas mesin 6 kunci yang dinamakan braillewriter (penulis braille) dengan menggunakan stytus, alat semacam bolpoin tanpa tinta yang ujungnya runcing.

Akhirnya, Louis Braille menjadi guru pada sekolah tempat ia pernah menjadi murid, Royal Institusion for Blind Youth. la menjadi guru yang disukai dan dihormati murid-muridnya. Tetapi sayang, ia tidak sempat melihat sistem baca-tulis temuannya digunakan secara luas di seluruh dunia. Pada 6 Januari 1852, di usia yang ke-43, ia meninggal karena serangan TBC.

Pada mulanya, orang tidak berpikir bahwa kode braille merupakan sesuatu yang berguna untuk kaum tunanetra. Banyak orang yang menduga sistem braille akan mati sebagaimana penemunya. Bersyukur ada sedikit orang yang menyadari pentingnya penemuan Louis Braille. Pada 1868, Dr. Thomas Armitage memimpin sekelompok orang tunanetra – yang terdiri atas empat orang – mendirikan lembaga untuk mengembangkan dan menyebarkan sistem temuan Louis Braille. Kelompok kecil ini terus tumbuh dan berkembang menjadi Royal National Institute of the Blind (RNIB), yang sekarang dikenal sebagai penerbit terbesar buku-buku braille di Eropa. Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia membaca dan menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang, kode braille telah diadaptasi hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia. Louis telah membuktikan bahwa dengan motivasi yang kuat, kita dapat melakukan hal yang sebelumnya tidak masuk akal.

Sumber : biografi.blogspot.com

Bisnis Kue Online


Tak bisa kita pungkiri bila perkembangan teknologi khususnya internet, sekarang ini menjadi media pemasaran yang cukup efektif bagi para pelaku usaha. Bahkan, saking besarnya peranan internet, banyak pengusaha yang mulai tertarik memasarkan berbagai macam produk maupun jasa mereka melalui pasar dunia maya. Salah satunya saja seperti Niken Indra Dhamayanti yang sukses menjalankan bisnis kue via online, setelah Ia mempublikasikan foto kue buatannya melalui akun jejaring sosial yang Ia miliki.

Merintis bisnis kue tematik atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah kue tiga dimensi, membuat Ibu dua anak ini rela meninggalkan pekerjaannya di Nokia Siemens Networks yang telah Ia geluti selama 13 tahun. Niken memilih fokus menekuni bisnis kue tiga dimensi ini karena menurutnya potensi pasarnya masih sangat besar, sehingga tidak menutup kemungkinan bila setiap bulannya Ia bisa mengantongi omset lebih besar daripada gaji yang dulu Ia terima setiap bulannya.

Mengawali bisnisnya pada bulan Desember tahun 2007, Niken menggunakan nama Coklatchic sebagai brand bisnis yang Ia bangun. Nama tersebut sengaja dipilih Niken karena Ia sengaja menggunakan coklat  sebagai bahan dasar untuk menghias kue-kue buatannya. Keunikan inilah yang membuat kue tematik buatan Niken lebih unggul dibandingkan produsen lainnya yang rata-rata menggunakan fondant untuk menghias kue-kuenya.

Selain mencipkatan keunikan untuk memenangkan persaingan pasar, Niken juga memanfaatkan peranan media online untuk memasarkan produk-produknya. Memanfaatkan jejaring sosial sepeti facebook, membuka toko online dengan website gratisan, serta menggunakan situs jual beli online untuk mendatangkan calon pelanggan, kini Niken bisa meraup omzet penjualan hingga mencapai Rp 100 juta setiap bulannya.

Kejelian Niken dalam memanfaatkan media online, serta kreativitasnya dalam membuat beragam jenis desain kue tiga dimensi, menjadikan omzet bisnis kue tematik buatan Niken mengalami lonjakan omset yang awalnya hanya berkisar puluhan juta rupiah, kini bisa melonjak pesat hingga mencapai angka Rp 100 juta per bulan.

Semoga kisah sukses yang membahas bisnis kue melejit memanfaatkan peran media online ini bisa memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca dan menginspirasi masyarakat Indonesia untuk ikut terjun memanfaatkan media online dalam mengembangkan usahanya. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.

Sumber : bisnisku.com

Rabu, 06 Februari 2013

Konsultan IT Bisnis Buah


Kisah Perjalanan Alumni TDA Apprentice Yang Sukses Bisnis Online ini sudah dimuat di Harian Warta Kota edisi hari Minggu, 28 Maret 2010, Didedikasikan untuk Pesta Wirausaha 2010, dalam rangka Milad 4 TDA).

Dalam era informasi, bisnis online berkembang pesat. Edi S. Kurniawan (32), pengusaha pakaian bayi menangkap peluang itu sejak awal. Dia ingin seluruh toko di Tanahabang punya toko online.

Suatu siang saat Warta Kota menyambangi Alifia, toko super grosir pakaian anak dan perlengkapan bayi di Thamrin City, Jalan Kebonkacang Raya, Tanahabang, Jakarta Pusat. Suasananya tampak sepi.

Di beberapa sudut hanya tampak tumpukan karung plastik putih. Disisi lain seorang lelaki sedang sibuk dengan laptop warna merah. Seorang lagi bekerja di sebuah komputer PC. Dua lainnya sedang merapikan barang-barang di toko.

“Saya sengaja memilih lantai yang sepi. Sebab, 100% transaksi bisnis saya lewat internet. Disini lokasi enggak penting. Tempat sepi, sewanya lebih murah. Yang penting, masih ada bau-bau Tanahabang,” ujar Edi S. Kurniawan, pemilik toko online www.grosirtanahabang.com membuka percakapan dengan Warta Kota, belum lama ini.

Meski bisnisnya dioperasikan secara online, tapi nama Tanahabang tetap ditonjolkan. Maklum, Tanahabang adalah icon bisnis tekstil di negeri ini, bahkan dikenal sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Bagi ayah Randika Chandra Aryandi ini, Tanahabang mempunyai arti khusus. Mantan buruh pabrik di Tangerang ini mulai belajar bisnis dengan mengikuti program magang di toko-toko milik H. Alay, inspirasi berdirinya komunitas bisnis Tangan Di Atas (TDA) dan raja tekstil dan properti di Tanahabang. Dengan bekal ilmu bisnis dari magang, kerja keras dan kreatifitas, Edi dapat melewati masa sulit dalam hidupnya, sekaligus mengembangkan bisnis online www.grosirtanahabang.com dan www.alifiababyshop.com.

Saat ini, bisnis grosir pakaian anak dan perlengkapan bayi online milik mantan buruh pabrik PT. Bando Indonesia itu tumbuh pesat dengan omset rata-rata Rp. 100 juta per bulan.

Jalan menuju sukses melalui proses jatuh bangun. Pria kelahiran Lampung ini, sudah beberapa kali membangun bisnis, tapi semuanya berakhir dengan kegagalan. Edi pusing karena kegagalan itu meninggalkan banyak utang.

Edi pernah melakoni berjualan pulsa sampai buka toko fashion dan busana muslim serta usaha catering dan kantin.

Bisnis-bisnis yang disebut terakhir modalnya diperoleh dari pinjaman bank maupun kantor. Karena gagal, utangnya sampai Rp. 50 juta.

Sebagai buruh pabrik yang gajinya sekitar Rp. 2,7 juta per bulan. Edi dan istrinya, Siti Aminah, terus putar otak untuk mencari solusinya. Buruh teladan PT. Bando Indonesia (2005-2006) ini harus menyisihkan Rp. 2 juta untuk membayar cicilan hutang per bulan.

Dalam kondisi sulit itu Edi mendapat info dari TDA terkait program magang di jaringan toko H. Alay di Tanahabang. Edi tertarik dengan program itu, karena kegagalan bisnisnya selama ini, antara lain adalah tak memiliki ilmu bisnis.

Meskipun syarat mengikuti magang itu berat, Edi nekat mengambil kesempatan itu, apalagi dia mendapat dukungan dari istrinya. Untuk ikut magang itu, dia wajib bekerja enam hari seminggu selama tiga bulan nonstop. Itu berarti dia harus keluar kerja dari PT. Bando Indonesia, Gajah Tunggal Group, Tangerang. Selama magang itu Edi tidak digaji, tanpa uang makan dan transport. Sungguh berat.

Walaupun teman-temannya menyebut keputusannya mengundurkan diri sebagai tindakan gila, tapi tekad Edi untuk belajar bisnis tidak surut. “Saya bersyukur, meski saya mengundurkan diri, tapi pihak manajemen masih memberi pesangon Rp. 55 juta sehingga saya bisa melunasi utang saya. Sisanya untuk modal saya. Dan, karena saya tidak bekerja lagi, istri saya bersedia bekerja kembali di pabrik tas. Itulah bentuk dukungan luar biasa dari istri saya,” ujarnya.

Edi keluar kerja sekitar bulan maret 2007. “Sebab kalau diterusin kerja di pabrik, saya udah enggak semangat. Hampir semua gaji saya habis untuk bayar cicilan utang. Bayangkan, utang saya baru lunas sekitar 10 tahun. Makanya saya semangat pindah quadran,” katanya.

Sarjana hukum lulusan STHI Jakarta tahun 2003 itu yakin, di balik kesulitan hidupnya pasti ada kemudahan. Edi mulai merasakan manfaat positif, khususnya pada bulan ketiga magang. Saat itu, Edi diberi kesempatan buka toko mukena sendiri dengan modal dari H. Alay Rp. 50 juta.

Selanjutnya, setelah lulus magang, Edi bekerja sama dengan H. Alay membuka toko pakaian anak dan perlengkapan bayi di Blok F 3 Tanahabang. Saat itu, katanya, dia diberi modal awal berupa celana anak dari kain perca senilai Rp. 200 juta.

“Setelah tiga tahun bekerja sama dengan H. Alay, akhirnya saya memutuskan untuk mandiri, maksudnya supaya bisa lebih kreatif mengembangkan bisnis sendiri. Toko offline saya kembalikan kepada pak haji, lalu saya fokus mengembangkan bisnis online,” Ujar Edi.

Untuk memulai bisnis baru, Edi menggandeng investor baru untuk mendapatkan dana segar Rp. 100 juta. “Ternyata semangat bagi hasil sangat mendukung upaya saya mengembangkan bisnis online. Rencana saya kedepan, ingin mengajak toko-toko di Tanahabang membuka toko online. Sambutannya positif bahkan beberapa sangat antusias. Mimpi saya, semoga kawasan Tanahabang bebas macet karena semua transaksi lewat internet,” ujar Edi mantap.

Sumber : tokoonline100rb.blogspot.com

Mantan Konsultan Terjun Bisnis Jus


Tergelitik peluang pasar jus premium berkat tren gaya hidup sehat yang semakin merakyat, Hendrik Setiawan memutuskan terjun pada usaha jus premium. Persaingan ketat pun memaksanya memutar otak supaya penjualannya terus meningkat. Kini, Hendrik pun bisa menjual 70.000 botol jus segar setiap hari.

Modal semangat dan ketekunan mengantarkan Hendrik Setiawan menjadi pengusaha jus buah segar yang sukses. Hendrik yang sebelumnya telah mapan sebagai konsultan IT profesional, rela melepas kariernya demi mengembangkan usaha keluarga, yakni agen distributor kertas.

Setelah menjadi pengusaha, insting bisnis Hendrik pun makin tajam. Melihat tren gaya hidup sehat berkembang di masyarakat, tebersit ide untuk menggeluti usaha pembuatan jus segar. Apalagi, Hendrik juga mencintai gaya hidup sehat.

Hingga akhirnya, Hendrik pun menyerahkan pengelolaan usaha distributor kertas kepada anggota keluarga lainnya. Lantas, pria kelahiran 1969 ini memulai bisnisnya sendiri, tanpa campur tangan orang lain. “Saya melihat pasar jus segar makin luas karena banyak orang yang menerapkan gaya hidup sehat,” ujarnya.

Karena kepeduliannya akan dampak buruk bahan pengawet, Hendrik pun memproduksi jus bebas pengawet. Dengan modal

Rp 200 juta, uang tabungannya sendiri, Hendrik mendirikan PT Adelphi TransAsia, sebagai produsen jus buah Mama Roz pada 2005.

Sayang, persaingan pada industri minuman jus ini juga sudah ketat. Ia pun memutar otak supaya produknya diterima pasar.

Alhasil, ia pun membuat jus buah segar murni. Tak seperti jus buah yang banyak beredar, yang menurut Hendrik tak lebih merupakan jus buah konsentrat.

Ia pun membidik pasar kalangan menengah atas dengan banderol harga jus berkisar Rp 13.000 hingga Rp 25.000. Karena tanpa bahan pengawet dan konsentrat, jus Mama Roz hanya bertahan selama tiga hari.

Untuk merebut perhatian pasar, Hendrik pun lantas menerapkan strategi layanan pesan-antar jus ke seluruh wilayah Jakarta, tanpa memungut biaya tambahan. Menurutnya, sebagai pendatang baru di dunia bisnis minuman, ia harus pandai menjemput bola dan menangkap peluang.

Tak disangka, layanan pesan-antar jus buah segar ini menjadikan Mama Roz sebagai satu-satunya jus buah segar yang diantar hingga ke rumah pelanggan. “Pesanan satu botol jus pun akan kami antar,” jelas Hendrik.

Menjadi berbeda, baik dari sisi produk maupun layanan, memang tujuan Hendrik sejak awal. Dengan perbedaan inilah, masyarakat akan lebih mengenal produk jus buah segar buatannya. Selain itu, dengan memberikan layanan istimewa berupa pesan-antar ini, Hendrik dapat menggenggam pasar yang lebih bergengsi.

Di samping layanan, Hendrik pun memberi penawaran istimewa kepada para pelanggan Mama Roz. Yakni, pelanggan boleh menentukan sendiri buah yang akan dibuat jus. Pilihan ini pun bisa berganti-ganti, sesuai permintaan.

Menurut Hendrik, dengan memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk memilih sendiri rasa jus buah akan memberikan pengalaman tersendiri bagi pelanggan. “Mereka seperti membuat jus sendiri, sesuai dengan selera,” ujarnya.

Dari pengalaman ini pula, Hendrik bisa terus berinovasi menciptakan rasa-rasa baru jus Mama Roz. Ia pun tak segan menampung usulan pelanggan yang menginginkan rasa jus berbeda.

Hendrik menambahkan, masukan maupun saran dari pelanggan merupakan hal yang tidak ternilai harganya. “Dengan menerima masukan ini, kami juga mendapatkan pelanggan yang setia,” tuturnya.

Karena kedekatan dengan pelanggan ini pula, Hendrik tak takut bersaing dengan produsen minuman buah lainnya. Ia yakin, produk buatannya yang benar-benar berkualitas diterima lidah masyarakat Indonesia. Pasalnya, racikan jus buah segar bikinannya pas dengan lidah masyarakat Indonesia.

Tak heran, bisnis Hendrik pun terus berkembang. Bahkan, pada tahun ini, ia menuai kenaikan permintaan cukup besar. Pada 2011 ini, permintaan naik 40% dibanding tahun lalu.

Setelah enam tahun menjalankan usaha, Hendrik pun terus menambah karyawan. Jika dulu, ia hanya dibantu 10 karyawan, kini dia telah memperkerjakan 160 karyawan yang mengoperasikan mesin-mesin jus di pabriknya, untuk memenuhi pesanan hingga 70.000 botol jus buah segar tiap hari.

Setelah meninggalkan profesi konsultan IT, Hendrik Setiawan fokus membangun bisnis jus buah segar Mama Roz. Menurutnya, membangun bisnis seperti berperang, perlu persiapan detail. Karena itu, segala aspek bisnis harus dipikirkan mulai dari produk, kemasan, maupun infrastruktur logistik.

Bermodalkan uang Rp 200 juta, Hendrik Setiawan mulai menggarap usaha jus buah segar Mama Roz. Dibantu 10 orang karyawan, Hendrik yakin bisnis barunya ini akan sukses. Optimisme inilah yang mendorongnya serius berbisnis jus meski dengan modal terbatas.

Dengan modal itu dia mendatangkan mesin pengolah jus dari Amerika Serikat dan Eropa. Keinginannya hanya satu, yaitu menciptakan jus yang memiliki kualitas prima.

Selain alat pengolah jus, dia juga mempersiapkan segala kebutuhan bisnis lainnya, mulai desain botol kemasan, ukuran kemasan, label botol, ukuran botol, sistem teknologi informasi (TI) serta call center Mama Roz. “Membangun dan mengembangkan bisnis sama seperti tentara yang hendak berperang,” seloroh alumnus jurusan keuangan Southern California University ini.

Dia juga membantu desain ukuran kemasan. Seperti saat penciptaan ukuran botol jus Mama Roz 600 mililiter (ml). Ia mengatakan, keputusan untuk membuat kemasan 600 ml sudah melalui pemikiran mendalam. Dengan ukuran botol yang tak terlalu besar, harapan Hendrik, konsumen dapat menikmati jus Mama Roz sambil berolah raga. “Ukuran botol mudah digenggam,” katanya.

Selain mudah digenggam, ukuran 600 ml juga muat dalam cup holder mobil. Dengan ukuran ini, konsumen dapat menyediakan jus di kabin kendaraan dan sesekali bisa menenggaknya bila jalanan macet atau pas traffic light menyala merah.

Setelah aspek bisnis selesai dibuat, aspek pemasaran juga tak kalah penting untuk dipikirkan. Untuk mendekatkan merek Mama Roz ke masyarakat, Hendrik mencantumkan cerita tentang asal-muasal buah segar yang terkandung dalam jus Mama Roz.

Hendrik terinspirasi dengan label produk sejenis yang mencantumkan cerita seorang ibu di Tuscani, Italia, yang setiap pagi memetik buah segar untuk disajikan sebagai jus anak-anak dengan cara tradisional. “Supaya pelanggan Mama Roz merasakan kedekatan emosional,” katanya.

Dia sengaja membuat cerita dalam Bahasa Inggris sebagai salah satu strategi pemasaran dan membangun brand image Mama Roz. Sebab, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih lebih percaya dengan produk makanan dan minuman impor asal Eropa. Selain itu, untuk menarik pembeli, dia juga memperkaya tampilan label Mama Roz dengan gambar dan grafik lebih beragam.

Itulah sebabnya, Hendrik yakin, akan sulit mencuri perhatian pasar, jika kemasan minuman buah segar ini tidak dikemas dengan tampilan mewah dan mahal. “Bukan saya tidak cinta Indonesia, tapi ini merupakan strategi pengenalan brand,” kata Hendrik.

Ia mengakui, kentalnya sentuhan barat ini, membuat produknya sering dikira merupakan waralaba luar negeri atau produk impor.

Menurutnya penguatan brand image melalui label dan kemasan sangat penting. Sebab, sebagai produk yang memiliki banyak pesaing, Mama Roz hanya memiliki satu kali kesempatan untuk memberi kesan baik bagi konsumen. “Kita hanya memiliki satu kali kesempatan untuk memenangkan hati konsumen ketika melihat banyak produk jus berjajar di etalase. Karena itu, kita harus menyajikan kemasan yang menarik,” imbuhnya.

Selain kualitas produk dan kemasan, sistem TI dan call center yang mumpuni juga sangat penting. Bagi Hendrik, infrastruktur yang baik untuk layanan pesan-antar menjadi kebutuhan yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Dia mengaku membutuhkan waktu enam bulan untuk men-set up seluruh infrastruktur pesan-antar dan call center sebelum benar-benar menjalankan bisnis jus ini. Dengan infrastruktur yang kuat, Hendrik yakin, pelanggan Mama Roz yang dulunya hanya puluhan orang bisa terus meningkat menjadi ratusan dan bahkan ribuan pelanggan.

Setelah layanan pesan-antar menuai sukses, dalam jangka waktu tiga bulan, Mama Roz juga telah menembus pasar swalayan kelas premium.

Kini, senyum Hendrik bisa lebih lebar lagi. Lihat saja, meski baru berjalan enam tahun, penjualan jus Mama Roz telah mencapai rata-rata 50.000 botol per bulan. “Saya ingin bisnis perdana saya ini sukses,” ujar Hendrik.

Hendrik Setiawan memang mengambil jalur jualan jus di segmen yang berbeda. Namun perbedaan inilah yang mengantarkan Hendrik meraih sukses dalam mengembangkan bisnis. Berkat langkah bisnis yang berbeda itu pula, kini jus bermerek Mama Roz ini mulai menjajal pasar ekspor ke negeri jiran.

Untuk meraih kesuksesan dalam berbisnis memang butuh keberanian. Keberanian untuk membawa ide yang berbeda dan keberanian mengambil risiko dari perbedaan yang ditawarkan tersebut.

Keberanian itu pula yang ditempuh Hendrik Setiawan untuk meraih sukses membangun bisnis jus buah segar Mama Roz. Langkah berani itu ditunjukkan Hendrik dengan memproduksi jus segar tanpa pengawet dan hanya mampu bertahan selama tiga hari saja.

Namun dengan merendah Hendrik mengatakan, dia berani berbisnis jus di luar cara konvensional itu karena memang tak punya pengalaman di industri jus. “Ibaratnya seperti blessing in disguise. Karena tidak tahu justru jadi berani,” kata Hendrik.

Hendrik sempat berpikir, seandainya dia tahu seluk-beluk berbisnis jus, mungkin dia tidak akan membuat jus yang hanya mampu bertahan selama tiga hari. Dari sisi hitungan bisnis, langkah ini sangat berani. Sekali barang tidak laku, melayanglah modal usaha.

Bagi orang lain, sambung Hendrik, membuat jus yang hanya mampu bertahan selama tiga hari saja, mungkin hanya pemikiran pebisnis edan saja. Namun bagi Hendrik, seedan apa pun ide itu, tetap harus diperjuangkan untuk mengetahui secara pasti hasilnya.

Ide memberikan layanan pesan-antar juga ide berbeda dalam berbisnis jus. Namun bagi Hendrik, pesan antar ini menunjukkan kepedulian dia terhadap pelanggan. Selain itu, dengan pesan antar ini merek Mama Roz menjadi semakin dikenal. “Aset terbesar dan terpenting dari sebuah perusahaan adalah brand. Dan bagi kami, brand itu tercipta dari tiga hal penting yaitu kenyamanan, kemudahan, dan layanan Mama Roz jus,” imbuhnya.

Dengan brand yang sudah kuat inilah, Mama Roz pun mulai mengembangkan pemasaran dengan cara menjajaki kerja sama atau co-branding dengan vendor-vendor yang memiliki pelanggan luas. Kerja sama tersebut dapat berupa pemberian gratis satu botol jus buah segar Mama Roz dalam transaksi tertentu. Hal ini ditempuh Hendrik agar dapat meraih pelanggan yang lebih luas lagi.

Untuk mendukung pengembangan pasar itu, ia pun tengah membangun pabrik jus buah segar Mama Roz di kawasan Cikupa, Tangerang. Hendrik perlu membangun pabrik karena permintaan jus Mama Roz ini terus meningkat dari hari ke hari.

Rencananya, pabrik jus tersebut akan mulai beroperasi pada pertengahan 2012 mendatang. Pabrik ini nanti akan dilengkapi dengan mesin pembuat jus yang modern dan higienis dengan kapasitas produksi tinggi.

Faktor lain agar brand Mama Roz tetap melekat di hati penikmat jus buah segar karena Hendrik rajin mengeluarkan produk jus buah rasa baru.

Hendrik menyatakan, penyegaran pasar melalui produk baru ini dapat mendongkrak omzet hingga 50% sampai 100%. “Karena bersaing di industri minuman, kami harus kreatif dan rutin memperkenalkan rasa baru secara berkala,” tandas Hendrik.

Pengembangan dan perluasan pasar jus buah segar Mama Roz juga akan dilakukan dengan memperkenalkan brand kedua atau second brand dari produk jus selain Mama Roz. Ekspansi peluncuran produk baru ini dilakukan agar jus buah segar dapat dinikmati oleh seluruh kalangan dan tidak terbatas pada kalangan kelas menengah atas saja, Lihat saja, produk jus baru ini harganya lebih murah 30% dari harga jual jus Mama Roz.

Meski harga lebih murah, tak berarti menurunkan standar mutu dan kualitas. Hendrik menegaskan, jus buah ini tetap terbuat dari buah segar tanpa menggunakan konsentrat dan pengawet. “Kami ingin menjangkau pasar anak muda yang lebih luas dan tetap berusaha mengampanyekan hidup sehat,” jelas Hendrik.

Hendrik juga mulai melirik pasar ekspor ke Malaysia. Hendrik mengaku kini tengah mematangkan konsep ekspor tersebut agar lebih efisien. Dia punya dua pilihan, apakah dengan membangun pabrik di Malaysia atau langsung mengirim jus dari Tanah Air.

Sumber : wirasmada.wordpress.com

Pengusaha Muda Thailand


Jika di indonesia ada Reza Nurhilman yang berhasil menjual sensasi camilan keripik pedas bermerek Ma Icih yang amat populer, maka di Thailand ada pula pengusaha muda bernama Aitthipat Kulapongvanich yang sukses menjual camilan keripik rumput laut bermerek Tao Kae Noi, yang sanggup meraup omzet yang amat fantastis.

Film produksi Negari Gajah Putih, The Billionaire, menceritakan kisah nyala lika-liku jatuh bangunnya seorang pengusaha (entrepreneur) muda bernama Aitthipat KulapongvanJch (Pachara "Peach" Chirathivat) atau lebih dikenal dengan nama Top" Aitthipat.

Sebenarnya, Aitthipat merupakan seorang anak orang kaya. Namun pada usia 16 tahun, ia begitu terobsesi dengan permainan game online yang mengakibatkan nilai-nilai mata pelajaran sekolahnya merosot. Karena ia sudah tak lagi memiliki hasrat untuk meneruskan sekolahnya, pada usia 17 tahun, Aitthipat dropout dan memutuskan diri untuk menjadi penjaja kacang. Walau dengan modal pengalaman yang amat minimhingga seriug ditipu dan kerja sangat keras, usaha menjual kacang ini tak membuahkan hasil dan justru membuatnya kian terpuruk.

Saat usia Aitthipat genap 18 tahun, keluarganya bangkrut dan meninggalkan utang sebesar 40 juta baht. Kondisi ini menggiring keluarganya untuk eksodus ke luar negeri untuk mencari peruntungan dan membangun kembali bisnisnya. Namun Aitthipat memutuskan untuk tidak mau ikut serta dengan keluarganya hijrah ke luar negeri.

Hingga Dada usia 19 tahun, dia tergerak untuk menciptakan camilan rumput laut yang ia beri nama Tao Kae Noi. Dengan sigapnya, ia lalu mencoba menjual camilan rumput lautnya hingga ia sukses merambah di gerai-gerai sekitar 3.000 cabang 7-Eleven di Thailand.

Karena camilan ini amat disukai oleh banyak orang di sana, kini, pada usia yang ke-26, Aitthipat menjadi produsen camilan rumput laut terlaris di Ihailand dengan omzet hingga 800 juta baht per tahun, dan saat ini ia telah mempekerjakan 2.000 pekerja. Kerajaan bisnisnya ini justru telah bisa membayar utang keluarganya yang bernilai 40 juta bath.

Inspirasi kisah nyata hidup Aitthipat yang luar biasa ini kini difilmkan untuk bisa menggugah semangat entrcpreneurship di negeri Thailand.

Film yang Menginspirasi

Studio Gmm Tai Hub (GTH) memang merupakan salah satu studio film Thailand yang dikenal sering membuat Film-film bernuansa generasi muda yang kreatif. [he Billionaire merupakan salah satu hlm yang gemilang di Thailand karena memiliki nilai inspiratif yang memacu jiwa kewirausahaan anak muda negeri ini, yang juga layak untuk kita apresiasi dan tonton sejarah perjuangannya.

Film ini diarahkan oleh sutradara Songyos Sugmakanan,yang berhasil meraih anugerah Crystal Bear pada Berlin International Film Festival 2006 untuk kriteria Besi Feature Film, Crystal Simorgh pada Fajr Film Festival untuk kriteria Best Director bagi film berjudul Dorm (2006), dan sejumlah penghargaan internasional lainnya.

Sementara itu pemeran utamanya, Pachara "Peach" Chirathivat, merupakan aktor muda kelahiran 10 Mei 1993 yang dikenal telah membintangi film SuckSeed (2011). Peran sebagai Aitthipat cukup mewakili kisah nyata gejolak kehidupan pengusaha muda ini, walau masih belum sempurna. Film dengan durasi 120 menit ini, walau diselingi drama percintaan dan komedi komikal. amat menggugah karena pesan yang coba diangkat berhasil diciptakan melalui film ini.

Nah, jika Anda mampir ke gerai 7-Eleven terdekat dan menemukan camilan bermerek Tao Kae Nai yang konon artinya Pengusaha Muda ini, pastinya Anda akan kembali mengingat film ini. lika ada produser film Indonesia yang tertarik mengadaptasi kisah sukses film kewirausahaan produksi Thailand ini, tak ada salahnya meniru, apalagi sudah ada juga pengusaha muda yang sukses memproduksi bisnis camilan seperti keripik Ma Icih yang juga unik dalam metode strategi pemasaran.

Sumber : primakelara.blogspot.com

Asian Brain


Yuk benar banget....berawal dari hoby internetan yang dalam sehari bisa sampai 2-4 jam, peluang bisnis internet terlintas di benak saya. Awalnya saya penasaran dengan iklan-iklan di internet yang menawarkan bisnis menghasilkan puluhan juta rupiah per bulan, bener g sich....!!! Karena saking penasarannnya, akhirnya saya “mencoba” he...he....

Awal mula saya tertarik dengan bisnis online sejak saya semester 8, tepatnya saat skripsi di mulai. Dari situ saya jadi sering internetan di kampus, padahal sebelumnya saya males banget pergi ke warnet untuk internetan. Sejak saat itu saya bisa menghabiskan 1-2 jam per hari untuk pergi ke warnet.

Selain mencari referensi buat skripsi, saya koq jadi tertarik dengan iklan-iklan yang ada di internet yang menawarkan bisnis internet. Sambil buat skripsi akhirnya saya putuskan untuk ikut-ikutan juga bisnis internet.

Awalnya saya ikut bisnis affiliete yang menawarkan penghasilan jutaan rupiah per bulan  tanpa buat website dsb. Namanya rahasia y he....setelah terjun disana beberapa bulan...ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Susah sekali mencari penghasilan jutaan, jangankan jutaan ratusan saja sulit he...he...namun saya tidak putus asa. Saya yakin di dunia internet banyak peluang untuk menghasilkan rupiah maupun dolllar. Saya mencoba mengambil hikmahnya. 

Dari situ saya baru tahu...ternyata dunia internet memang...sekali lagi saya bilang memang banyak peluang menghasilkan uang yang dahsyat. Cuma saat itu saya belum bisa he...he...
Akhirnya saya mencoba mencari kesana kemari tempat pembelajaran bisnis online yang bener-bener mengajari saya tentang berbisnis di dunia maya.

Saya menemukan ASIAN BRAIN yang menawarkan bimbingan belajar selama 1 tahun. Persepsi saya, wah...ini kayaknya baru les privat belajar selama 1 tahun mantap he..he.... karena menurut pengalaman saya, memang segala sesuatu itu ada ilmunya gak bisa instan. Masak website g punya bisa menghasilkan puluhan juta per bulan mustahil he...he...

Singakatnya setelah bergabung di ASIAN BRAIN selama 1 tahun, saya bisa membuat website yang mampu menghasilkan jutaan rupiah per bulan. Di Asian Brain saya selalu di bimbing oleh team support yang tiada lelah membantu para member-membernya untuk sukses. Kalau anda masih ragu tentang asian brain anda bisa mencoba belajar selama 1 bulan disana, dan itu GRATIS lho enak bukan he...he...tidak ada salahnya anda mencoba belajar gratis 1 bulan dan rasakan sendiri dahsyatnya asian brain.

Sumber : ceritausahasukses.blogspot.com

Usaha Aksesoris Gadget


Meningkatnya permintaan aneka macam produk gadget terbaru seperti misalnya BlackBerry, Galaxy Tab, iPad, hingga iPhone, ternyata turut memicu peningkatan kebutuhan produk pendukungnya. Beragam aksesoris seperti casing, hard case (casing pelindung), charger, hingga battery pun kini laris manis dipasaran dan diserbu para konsumen dari berbagai kalangan. Peluang inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Lie Jeffrey Lunardi untuk menuai sukses usaha melalui aksesoris gadget.

Melakoni pahit manisnya bisnis aksesoris gadget ternyata sudah dialami Jeffery Lunardi sejak tahun 1998 silam. Saat itu Ia memasarkan aneka macam aksesoris gadget impor dari Taiwan dan China secara grosir. Dan setelah empat tahun menekuni bisnis aksesoris gadget impor, lelaki yang akrab disapa Jeffery ini pun sempat mengalami pasang surut penjualan, hingga akhirnya pada tahun 2001 Ia memutuskan untuk hijrah dari lokasi usaha di Surabaya menuju lokasi baru yang lebih strategis yaitu ke Ibukota negara (Jakarta). 

Setibanya di kota Jakarta, Jeffery pun kembali merintis usahanya dan mencoba berinovasi dengan membuat produk aksesoris gadget yang berlabelkan “Wellcomm Gadget Accessories” pada tahun 2003. Dalam menjalankan bisnis tersebut, Ia sengaja bekerjasama dengan pihak produsen di negara China untuk mendapatkan kualitas produk yang benar-benar terjamin dan mencantumkan merek Wellcomm untuk memperkuat brand produk yang Ia ciptakan.

Strategi yang dipilih Jeffery dalam mengembangkan usahanya ternyata sangatlah tepat. Dengan membidik konsumen kelas atas sebagai sasaran utamanya, PT. Wellcomm Ritelindo Pratama berkembang cukup pesat dalam waktu kurang dari tiga tahun dan menjadi satu-satunya bisnis retail yang fokus menggarap aksesoris gadget dengan jaringan pasar hingga seluruh wilayah Indonesia.

Besarnya respon pasar dan tingginya permintaan konsumen mendorong Jeffery untuk semakin gencar memperluas jaringan bisnisnya hingga Ia mulai membuka lebih dari 20 cabang dan 100 gerai Wellcomm shop di berbagai pusat perbelanjaan yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan lain sebagainya.

Dibantu sekitar 500 orang sales yang tersebar di berbagai wilayah, sekarang ini Wellcomm telah dipercaya oleh produsen merek internasional seperti Motorola, Sony Ericsson, Samsung, dan Asus, sebagai salah satu jaringan distribusi produk mereka ke berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, belum lama ini Jeffery juga mendapatkan lisensi langsung dari Disney, Warner Bros, Looney Tunes, serta Joger untuk mengembangkan inovasi produk casing gadget dengan gambar karakter tokoh-tokoh kartun yang mereka miliki.

Kerja keras serta kejelian Lie Jeffrey Lunardi dalam melihat kebutuhan pasar, kini telah terbayarkan dengan kesuksesan usahanya yang beromset milyaran rupiah setiap bulannya. Semoga profil pengusaha sukses yang kami angkat pada pekan ini bisa memberikan inspirasi bagi semua kalangan masyarakat dan mendorong para pembaca untuk segera memulai usaha. Jangan pernah takut melangkah dan raihlah kesuksesan Anda. Salam sukses.

Sumber : serambiusaha.blogspot.com

Selasa, 05 Februari 2013

Budidaya Jamur Tiram Putih


Sekelompok pemuda di Desa Wonokerto, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sukses membudidayakan jamur tiram putih. Hasilnya, tiap bulan mampu membukukan omzet jutaan rupiah.
Adi Radius, koordinator pemuda setempat, mengatakan, ide awal pembudidayaan jamur yang bernama Latin Pleorotus ostreatus tersebut bermula dari banyaknya pemuda setempat yang menganggur. "Kita berharap aktivitas ini membuat para pemuda mempunyai kegiatan yang positif dan tidak terjerumus pada kegiatan negatif," kata Adi, Senin (2/4/2012).

Tempat pembudidayaannya cukup sederhana. Hanya terbuat dari gubuk seluas 4 x 7 meter yang beratapkan anyaman daun tebu. Sementara anyaman daun kelapa digunakan sebagai dinding untuk membantu kelembaban ruangan. Di dalam ruangan itu berjajar 6.000 baglog (media tanam jamur yang berupa plastik berisi serbuk kayu dan berbagai komposisi tambahan) yang tertata rapi di atas rak.

Setiap harinya para pemuda itu secara bergantian menyiramkan air dengan cara disemprotkan ke setiap baglog. Pelubangan log juga diperlukan untuk menambah jumlah tempat tumbuhnya jamur. "Penanamannya tidak sulit, hanya butuh ketelatenan dan kesabaran. Masa panennya juga relatif cepat, hanya sebulan dari tanam," imbuhnya.

Sirkulasi hasil panenannya, menurut Adi, selain para pembeli tetap yang setiap hari datang, juga disalurkan ke pasar-pasar tradisional di sekitar Kota Kediri. Setiap kilonya dihargai Rp 12.000.

Para pemuda desa itu memulai pembudidayaannya pada tahun 2010 silam dengan modal awal yang terkumpul secara swadaya sebesar Rp 30 juta. Kini, setiap bulannya kelompok yang mengatasnamakan Organisasi Bina Taruna Sosial (Orbits) tersebut mampu membukukan omzet yang lumayan besar untuk sebuah usaha di desa, yaitu Rp 10 juta. "Setidaknya dengan aktivitas ini mampu menambah waktu untuk menyibukkan diri. Sekaligus ada hasilnya secara materi," pungkas Adi.

Sumber : indometalgoth.com

Darto Bisnis Aksesoris


Limbah akan selalu menjadi sebuah sampah. Namun, di tangan pria ini, limbah diubahnya menjadi sebuah aksesoris yang menarik untuk digunakan.

Adalah Darto, pria paruh baya yang sudah menjalankan usahanya turun temurun sejak 1982. Bermodal awal Rp200 ribu dari Dinas Sosial kala itu, kini pria bertubuh gempal tersebut sudah bisa menghasilkan omzet sebesar Rp15 juta per bulan.

Pengrajin manik-manik "Permata Hati" asal Desa Plumbon, Gambang, Jombang, Jawa Timur ini, ketika itu merupakan seorang kepala desa (kades). Dia membuka lapangan kerja untuk sekira 1.200 orang yang dibagi dalam 12 kelompok. Bisa dikatakan, home industry yang dikerjakannya sukses.

Berawal dari masa mudanya dulu, pria yang akrab disapa Pak Darto ini hobi ditindik. Hingga membuatnya ingin membuat aksesoris seperti gelang, anting, kalung, hingga cincin yang kesemuanya berasal dari kaca. Bahan aksesoris yang dimilikinya pun dipasok langsung dari Surabaya dan Tangerang.

"Awalnya saya suka ditindik. Terus saya pikir, daripada sering beli, kenapa nggak bikin sendiri saja. Saya pun cari yang belum dipunya banyak orang, yang unik, ya kaca ini," ceritanya kepada okezone, saat ditemui belum lama ini.

Pelan tapi pasti, usahanya mulai membuahkan hasil. Aksesorisnya diminati oleh beberapa pelanggan tetap. Mereka kerap mengorder aksesoris Darto untuk kembali dijual, seperti dari Bali dan Kalimantan yang bisa dikatakan selalu memesan selama sebulan sekali ini.

Dia menceritakan, untuk membuat satu buah gelang maupun kalung tersebut tidaklah mudah. Di mana membutuhkan proses pengerjaan yang memakan waktu satu hingga dua hari. "Untuk satu gelang ataupun kaca saja itu makan waktu yang lama bisa satu hingga dua hari," paparnya.

Bapak tiga anak ini pun menjelaskan, proses pembuatannya yang lama lebih karena seluruh aksesoris tersebut buatan tangan alias dibuat dengan pengerjaan dengan tangan  dan bukan dengan mesin.

"Semuanya di sini dibuat dengan tangan sendiri, para pekerjanya saja kita cuma ada 10 orang saja dan itu bisa memegang dua bagian pengerjaan," lugasnya.

Tidak hanya itu saja, baginya, proses pembuatan ukiran yang ada pun juga butuh ketelitian yang tepat. "Proses pembuatannya kan harus dilebur dulu untuk menjadi sebuah bentuk yang diinginkan. Setelah itu kita ukir dulu sesuai keinginan agar dapat dilihat cantik oleh mata. Nah, proses itu harus dibakar dengan api," tukasnya.

Darto pun menjual barang-barang hasil limbahnya dengan harga cukup murah, yakni berkisar mulai dari Rp10 ribu hingga Rp75 ribu. Saat ini, dia pun mengikuti pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran, Jakarta Pusat. Dalam mengikuti pameran saja, dia bisa meraup untung hingga Rp50 juta sebulan.

Kendati demikian, di saat produk China mulai menyerbu, usahanya pun ikut terpangkas. Pendapatannya bisa tergerus hingga 25 persen. Walaupun hal ini belum mengganggu usahanya secara signifikan.

"Imbasnya ke pendapatan kami, kalau dibandingkan sama produk luar, produk saya kalah," tuturnya singkat.

Saat ini, menurutnya, pemerintah sudah memperhatikan pengusaha home industry tersebut. Namun sayangnya, belum melangkah ke depan. Dalam artian, pemerintah belum mengantisipasi serangan produk China yang masuk.

"Imbasnya memang ke pengrajin. Kalau pemerintah sudah memperhatikan, tapi kurang mengantisipasi ya. Produk saya jadi kalah sama buatan China," pungkasnya. 

Sumber : ciputraentrepreneurship.com

Bisnis Roti Modal Kecil


Semenjak dulu, Ambar Murtilina (38) memang bercita-cita menjadi pengusaha sukses. Tetapi semua itu baru terwujud setelah ia lulus kuliah dan bekerja di perusahaan swasta. Lina menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 4 dengan Jurusan Tata Boga di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Setelah lulus sekolah, Lina -begitu perempuan ini disapa- melanjutkan ke Akademi Perhotelan di Universitas Sahid, Jakarta. Berbeda dengan teman-temannya, Lina tergolong mahasiswa yang tak betah berdiam diri. Waktu senggang kuliah ia pakai untuk bekerja di salah satu pasar swalayan sebagai tenaga marketing. Keluwesan dan ketekunan inilah yang membuat Lina cepat mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah.

Ia bekerja di perusahaan bakery ternama yang memproduksi donat. Namun begitu, ia merasa tidak betah. Pasalnya, perusahaan tersebut menempatkan Lina pada posisi marketing. “Padahal saya lebih suka di bagian produksi donat,” jelasnya.

Setahun kemudian Lina pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia bertekad untuk memulai bisnis. “Yang terpikir saat itu hanyalah bisnis warung nasi,” jelasnya. Tanpa pikir panjang, Lina pun membuat warung nasi tak jauh dari rumahnya. Namun sayang, bisnis ini hanya bertahan enam bulan. Warung nasinya tutup dan ia pun merugi.

Lina tidak menyerah. Pada tahun 2009 ia mendapat kabar mengenai pelatihan cara pembuatan roti di UKMKU asuhan Wulan Ayodya. “Kebetulan saya memang suka dengan roti, dan saya ingin tahu bagaimana cara pembuatannya,” ceritanya.

Dari situlah kemudian Lina berpikir untuk membangun bisnis roti. Menurutnya, roti itu makanan yang disukai oleh semua orang, dari anak kecil sampai orang dewasa. “Tapi, bukan berarti membuat bisnis roti itu mudah. Apalagi saya merupakan pendatang baru yang harus bersaing dengan merek roti lainnya,” jelasnya.

Lina pun membuat pembeda di bisnisnya ini. Ia membuat roti tanpa bahan pengawet dan harga yang murah. “Karena setahu saya saat ini banyak roti yang menggunakan bahan pengawet, dan harganya mahal. Nah, saya ingin beda dari yang lain,” tuturnya.

Bisnis roti Lina resmi berdiri pada 4 Maret 2009 dengan modal Rp 100.000. Uang itu ia belikan untuk terigu dan aneka selai. “Ternyata uang Rp 100.000 itu bisa untuk membuat roti selama seminggu,” jelasnya.

Lina baru tahu ternyata membuat roti tidak memerlukan banyak terigu. Di hari pertama produksi misalnya, ia hanya menghabiskan 1 kg tepung. “Dari 1 kg tepung itu saya bisa membuat 45 buah roti,” ucapnya.

Terus berkembang
Setiap hari, produksi roti Lina semakin bertambah. Dari 1 kg per hari, terus bertambah hingga 10 kg per hari. Roti-roti yang sudah diproduksi ia kirim ke warung-warung terdekat untuk dijual. Di sinilah Lina kerap mendapatkan cobaan. Roti buatannya kerap ditolak. Apalagi ketika mendengar roti tersebut dibuat di rumah. “Hah, roti rumahan? Pasti aneh rasanya,” begitu kata orang-orang pada awal ia menitip jual roti.

Para pemilik warung selama ini juga sudah terbiasa dengan roti buatan pabrik. “Ketika mendengar roti rumahan mereka langsung (menganggapnya) aneh,” jelas Lina. Dari 15 warung yang didatangi olehnya, hanya lima warung yang bersedia dititipi roti. Padahal Lina sudah memberikan contoh roti untuk dicoba secara cuma-cuma. “Namun mereka tetap tidak mau,” katanya.

Lina tak mau putus asa. Ia tetap mencari warung-warung lain yang mau menerima roti buatannya. Dari 20 roti yang dititipkan di satu warung, hanya satu atau dua roti yang laku. Selebihnya si pemilik warung memulangkan roti-roti tersebut. Kondisi ini tak berjalan lama. Lina justru semakin bangkit dan terus memperbaiki kualitas rasa roti tersebut. Hasilnya sangat mengejutkan.

Roti-roti itu habis terjual. Sampai-sampai si pemilik warung meminta Lina untuk mengirimkan kembali roti-roti tersebut. Berhubung banyak permintaan, akhirnya warung-warung yang sempat menolak roti buatan Lina pun berubah pikiran. “Mereka segera menghubungi saya dan minta dikirim roti,” ceritanya sambil tersenyum.

Berhubung permintaan semakin tinggi, Lina pun mulai keteteran. “Setiap hari saya mendapat telepon bertubi-tubi, pesannya hanya satu: mereka minta dikirimi roti segera,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 2 Juni 1974 ini.

Mau tidak mau, Lina pun mengganti cara produksi roti tersebut. Ia mulai memproduksi dengan jumlah yang besar. Tak hanya itu, ia juga mengemas roti-roti itu dalam plastik bening agar terjaga kebersihannya. Setiap mengantar roti Lina akan bertanya kepada pemilik warung, apa saja kekurangan pada produknya. “Dari situ saya terus belajar dan belajar untuk menghasilkan roti yang lezat,” jelasnya.

Ia juga membuat inovasi dalam varian rasa roti. Tak hanya roti cokelat, kacang hijau, kelapa, dan stroberi, ia juga membuat roti piza. Roti berbentuk makanan khas Italia ini dibuat mungil. Rencananya ia akan memproduksi massal roti piza setelah Lebaran tahun ini.

“Awalnya coba-coba tapi ternyata peminatnya banyak,” tuturnya sabil tersenyum. Tak hanya varian rasa yang akan dikembangkan oleh Lina, ia juga menargetkan distributor roti-roti buatannya. “Kalau bisa tahun ini 70 warung yang menjual roti buatan saya. Saya yakin pasti berhasil,” tutupnya.

Sumber : female.kompas.com

Pengusaha A.Kasoem


Pengusaha pribumi pertama merintis usaha kacamata di Indonesia. Dia memulai bisnis sejak tahun 1930-an itu kemudian dikembangkan dengan berbagai merek, seperti A Kasoem, Lily Kasoem, dan Cobra.

Nama kacamata Kasoem yakin tidak asing di telinga masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal di kota Garut dan Bandung. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa toko telah tersebar di seluruh negeri itu dipelopori oleh seorang pengusaha terkemuka dari Jawa Barat disebut Atjoem Kasoem atau lebih dikenal dengan Kasoem A.

Kasoem Seorang lahir di desa Bojong, Kadungora, Garut, Jawa Barat, 9 Januari 1917. Penghasilan ayah yang bekerja sebagai petani, membuat Kasoem kecil terbiasa hidup sederhana. Untuk setiap urusan pendidikan, ia melewati hanya berhasil tingkat Dewasa siswa taman College Park. Namun, kendala ekonomi tidak mematahkan semangatnya.

Sebelum dikenal sebagai pengusaha sukses, Kasoem bergabung membela kemerdekaan Indonesia. Ini bahkan telah lakukan sejak saya adalah seorang mahasiswa belajar di taman dengan berbagai organisasi yang terlibat dalam gerakan. Dari sana, ia kemudian mendapat kesempatan untuk mengenal banyak pemimpin perjuangan sebagai Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.

Setelah SMA, Kasoem bekerja pada sebuah toko kacamata yang terletak di Jalan Braga, Bandung. Toko tersebut dimiliki oleh orang Jerman bernama Kurt Schlosser. Dari majikan, Kasoem kemudian banyak belajar tentang seluk-beluk bisnis kacamata. Perlahan-lahan, dengan modal sepeda, Kasoem memulai usahanya jalan berkeliling dari pintu ke pintu untuk menjajakan barang dagangannya gelas.

Sebelum dikenal sebagai pengusaha sukses, Kasoem bergabung membela kemerdekaan Indonesia. Ini bahkan telah lakukan sejak saya adalah seorang mahasiswa belajar di taman dengan berbagai organisasi yang terlibat dalam gerakan. Dari sana, ia kemudian mendapat kesempatan untuk mengenal banyak pemimpin perjuangan sebagai Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.

Akhirnya, setelah beberapa tahun, berkat semangat kerja keras dan ketulusan, Kasoem berhasil membuka toko mereka sendiri dalam gelas Jalan Pungkur yang merupakan toko kacamata pertama dibuka oleh penduduk asli. Kacamata bisnis perlahan-lahan berkembang dan berhasil memperluas cabang-cabangnya ke kota-kota besar di Indonesia seperti Solo, Yogyakarta, hingga ibukota Jakarta. Usahanya terus berkembang itu memberinya kesempatan untuk membantu orang-orang yang aktif dalam gerakan nasional. Karena kontribusinya, interaksi antara pejuang menjadi lebih luas. Dalam perjalanan karirnya, Kasoem memang membantu dan dibantu sejumlah pemimpin gerakan.

Ketika tentara Jepang masih berkuasa di Indonesia, kacamata Kasoem dapat memiliki di Jalan Braga, Bandung bantuan Ki Hajar Dewantara dan Bung Hatta. Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda kembali ke Indonesia mendominasi. Selama revolusi itu, Kasoem ingin aktif di Palang Merah Indonesia. Tapi kemudian, ia terpaksa mengungsikan keluarganya ke Klaten, Jawa Tengah, Bandung Lautan Api saat kejadian meletus pada tanggal 24 Maret 1946. Kemudian, atas saran dari Bung Hatta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, Kasoem toko di Yogyakarta gelas dan kacamata hitam polishing pabrik di Klaten.

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, kisah sukses seorang pengusaha ini kembali ke Bandung. Sayangnya, gelas toko di Jalan Braga telah dikendalikan oleh orang Cina. Tidak ingin hanya menerima nasib, Kasoem mencoba untuk mengambil kembali dengan mengajukan gugatan di pengadilan sampai akhirnya berhasil mendapatkan kembali toko. Pada tahun 1955, ia membuka tokonya dan membuka jaringan di berbagai daerah.

Lima tahun kemudian, ia pergi ke Jerman Barat untuk menambah pengalaman dan wawasan karena tidak puas dengan keahliannya. Di sana ia belajar optik dan magang di pabrik-pabrik yang dimiliki oleh Dr Herman Gebest sampai akhirnya mampu menguasai ilmu pembuatan kacamata baik secara teoritis maupun praktis. Setelah perasaan mendapat ilmu yang cukup, Kasoem kembali ke negara itu. Pada tahun 1970, ibukota bank, ia mendirikan pabrik di kampung nya lensa bifokus, Kadungora, Garut, Jawa Barat. Tanaman ini merupakan pabrik pertama di Indonesia dan terbesar di Asia pada saat itu. Namun, krisis tahun 1997 yang mengguncang perekonomian Indonesia membantu berdampak pada kelangsungan hidup tanaman. Krisis yang sangat kuat, akhirnya membuat pabrik yang diresmikan oleh Adam Malik adalah bangkrut.

Di antara sibuk membangun bisnis yang dimulai sejak 30-an itu, antara tahun 1961-1971, kisah sukses seorang pengusaha ini masih mengambil waktu untuk menjadi dewan mahasiswa atau nomor pembangun kurator universitas dan organisasi mahasiswa Indonesia, seperti Institut Bandung Teknologi, Universitas Padjadjaran Universitas Pasundan dan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Kasoem Seorang meninggal di London pada tanggal 11 Juni 1979. Kacamata bisnis kemudian diteruskan oleh delapan putra dan putri dan cucu dengan menggunakan nama merek yang berbeda, seperti A Kasoem, PT Kasoem, Lily Kasoem dan Cobra, yang sampai sekarang telah tersebar di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Solo , Yogyakarta, Cirebon, beberapa kota di luar Jawa. Kasoem telah menyebar bisnisnya dalam semangat delapan anaknya sejak usia dini. Menurut salah Ruba’ah putrinya, ayahnya tidak akan memberikan uang saku kepada anak-anak mereka jika tidak membantu pekerjaan di optik.

Sumber : profilpengusahasuksesindonesia.wordpress.com